Belakangan ini saya dan beberapa rekan getol berkumpul dan sharing tentang sesuatu yang berhubungan dengan Startup. Beberapa dari kami bahkan sedang berkolaborasi mengerjakan project-project membangun Startup. Memang yang namanya tech Startup sedang sangat booming akhir-akhir ini. Bukan hanya trend kekinian saja, tapi environment yang ada saat ini sangat mendukung kemajuan industri tech Startup di Indonesia. Pemerintah baru-baru ini telah me-launching Gerakan Nasional 1000 Startup yang dimulai di 10 kota di Indonesia. Dan bersyukurlah Kota Semarang tercinta masuk di dalam daftar 10 kota tersebut. Oh yeah.
Dalam beberapa edisi terakhir tabloid ini, saya telah membahas hal-hal yang berkaitan dengan Startup. Jika anda belum familiar, secara sederhananya istilah Startup berarti “bisnis yang masih baru dibangun”. Tapi sebenarnya tidak setiap bisnis baru serta-merta dibilang Startup juga. Spirit dari Startup sendiri adalah dari sebuah ide bisnis yang relative baru untuk menyelesaikan masalah, khususnya dengan bantuan teknologi.
Startup seringkali lahir dalam sebuah ketidakpastian. Tidak pasti dengan model bisnisnya, target pasarnya bahkan juga bentuk ideal produknya. Jadi para founder Startup seringkali melakukan trial and error atau bahkan gagal muncul ke permukaan. YouTube pada mulanya dibuat bukanlah situs video sharing seperti yang kita kenal sekarang, tapi justru sebuah situs dating (kencan). Lewat beberapa pivot (perubahan) konsep akhirnya YouTube menemukan jati dirinya seperti sekarang ini. Begitu juga dengan Facebook yang ide awalnya hanyalah sebuah katalog mahasiswa online di Harvard University.
Proses trial and error seperti itu tentunya sangat memakan waktu dan biaya. Bahakan seringkali para founder Startup *kehabisan bensin* di tengah jalan. Bisa jadi karena faktor biaya atau terbentur masalah dan kehilangan semanagat untuk melanjutkan mimpinya. Padahal bisa jadi Startup tersebut berpotensi besar. Para founder AirBnB sebuah Startup penyewaan property online terbesar di dunia pernah mengalami “kehabisan bensin” di masa-masa awal mereka. Saat itu mereka berpindah haluan berjualan kripik cereal menjelang kampanye pemilihan presiden AS untuk menutup biaya-biaya. Untunglah akhirnya mereka kembali melanjutkan mimpinnya dan mengubah desain situsnya hingga menjadi sukses seperti yang kita kenal sekarang.
Banyak orang latah membuat Startup kerena tergiur dengan kesuksesan dalam waktu singkat. Kisah-kisah sukses dari Startup seperti Gojek atau Bukalapak banyak diberitakan dimana-mana, tapi bagaimana proses dan kendala yang harus mereka hadapi tidak banyak yang tahu. Tanpa kesiapan mental dan pengetahuan yang benar, hampir bisa dipastikan impian tersebuat akan kandas di tengah jalan. Sebagian calon founder hanya bermimpi untuk diakuisisi dan mendapatkan pendanaan dari investor sebagai tujuan akhirnya. Mereka lupa bahwa pada akhirnya Startup adalah sebuah bisnis, dan untuk bisa bertahan harus dijalankan dengan professional layaknya sebuah bisnis.
Oke, mungkin saat ini Anda berpikir memiliki sebuah ide Startup yang cemerlang, bagaimana selanjutnya?
Sebatas ide saja tanpa tindak lanjut yang nyata tentunya tidak akan berarti apa-apa. Banyak orang menganggap idenya bagaikan sebauah harta karun yang harus disimpan rapat-rapat. Biasanya karena kuatir dicuri atau ditiru orang. Padahal ide barulah 10% dari faktor kesuksesan Startup. Sisanya masih dibutuhkan perencanaan yang matang, team yang solid, proses development, pemasaran yang efektif, hal pendanaan, operasional usaha, timing yang tepat, dan bahkan faktor “keberuntungan”. Muncul di saat dan kondisi yang tepat seringkali berpengaruh. Sebelum Google sudah ada sekitar 25 mesin pencari yang lebih dulu muncel dengan ide yang sama. Tapi pada akhirnya Google menjadi raja mesin pencarian hingga saat ini.
Ide bisnis justru perlu divalidasi, apakah betul akan di terima oleh pasar (masyarakat) atau tidak. Seringkali ide bisnis yang sama sekali baru dan tanpa pesaing justru menandakan tidak adanya kebutuhan atau belum siap diterima masyarakat. Cobalah untuk mendiskusikan dengan orang-orang terdekat mengenai ide Anda. itu adalah cara validasi yang paling sederhana. Setelah itu realisasikan dalam versi yang paling sederhana (alpha version) untuk mendapatkan feedback dari pengguna. Jangan sampai Anda mengabiskan waktu dan biaya terlalu besar tanpa mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan pengguna.
Untuk menghasilkan Startup yang sukses, Anda juga membuatuhkan mentor/pembimbing. Khususnya juga para foundernya belum berpengalaman dalam membangun Startup. Itulah kenapa sebagian Startup masuk dalam program inkubator atau akselerator untuk mendapatkan mentoring. Melalui komunitas seperti Google Business Group (GBG) Semarang yang kebetulan saya gawangi, para founder Startup juga dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengembangan Startup.
Sebagai praktisi & mentor Startup, saya juga banyak belajar dari para pakar internasional seperti Eric Ries yang merumuskan metode popular The Lean Startup, dan juga Steve Blank penulis buku The Four Steps to the Epiphany. Jika Anda ingin belajar secara mendalam cara membangun Startup dengan sukses, saya merekomendasikan untuk Anda membaca buku-buku tersebut.
Pemerintah telah mencanangkan visi untuk menjadikan Indonesia sebagai lading ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan 1000 Startup digital baru. Berbagai roadmap dan fasilitas telah disiapakan untuk mendukung iklim Technopreneurship di Indonesia. Apakah Anda akan masuk di dalamnya? Saya harap demikian!